Puisi-puisi Dian Hartati
www.TPGImages
/Kamis, 27 November 2008 | 18:59 WIB
Lelaki Hujan
tibatiba kau menjemputku dalam perjalanan pulang
ketika sore berubah mendung
dan jalanan hanya menyisakan bayangan pohonpohon cemara
langkahku masih saja tersaruk
mendapati mimpi yang jadi nyata
kau dan rupamu menjelma sore itu
jadi hujan yang dikirim tuhan
mendatangi aku yang selalu berjalan sendiri
kau membawa angin imaji
yang luruhkan semua rinduku
bagi lelaki yang selalu datang dan pergi
kau hadir dengan ribuan cerita
tentang anakanak hujan yang membasahi tubuhku
gigil sore yang menghangatkan
lalu kita berjalan bersama
bercerita tentang perjalanan air
muaramuara tempat singgah
dan ceruk rahasia yang telah kita buat
kau lelaki hujan
datang memberikan warna di hatiku
setelah abadabad muram
tanpa gemuruh dan menyisakan kenangan biru yang ranum
datang menjelma hujan di soreku yang sibuk
SudutBumi, November 2007
Melamin
kuiringkan langkah menuju sebuah ruang
sedang keraguan terus membidai
kutelusuri makna lantai
apakah yang akan kutemui
degup jantung ini terus tak menentu
aku perajut hari yang sunyi
meniti setiap hati
menyunggi setiap harapan
hingga sebuah ruang kupilih
sebagai penanda waktu
di muka pintu kutemukan siluet
adakah gemetar tubuhmu akan kurasakan
ketika malam menyusup bisu
apakah gemulaimu akan kutandaskan
sedang hujan selalu tak dapat menentukan arah
inilah waktu
musim yang mencocokkan
setiap gerak yang berbeda
tumit yang merangkum sebentuk rasa
SudutBumi, 2007
Sebuah Wajah
pu, aku mencintai sebentuk wajah
yang tergurat dari rupamu
ketika pertemuan hanya menyisakan
batas angan
aku tergeragap
karena kau begitu saja membuatku berdebar
aku masih ingat, pu
sore itu
langit bandung begitu anggun
jalanan begitu teratur
dan aku begitu menikmati wajahmu
di balik etalase
sebuah beranda telah memenjarakan ruang gerak kita
pu, aku ingin mengulangi peristiwa itu
ketika kau mencermati wajahku
dan menuangkannya di sebuah kanvas
sebuah wajah yang diliput kecintaan
kau tahu, pu
aku baru saja memerdekakan sebuah luka
dan kau hadir tanpa kuduga
mencerahkan cakrawala yang hendak kubentangkan
sebuah perayaan tercipta sore itu
kau yang berkawan angin
dan aku yang diliput bahagia
pu, aku mencintai sebentuk rupa
yang kau guratkan di wajahku
SudutBumi, November 2007
Pertarungan
selamat datang wahai lelaki
penuhi empat penjuru angin dengan langkah gempita
ikat kuat cemeti itu di pinggangmu
agar tarian ini membentuk formasi akurat
dan bidang dadamu yang telanjang
telah siap untuk mewarnai angkasa dengan
semburat merah darah
siapkan kudakuda agar liuk tubuhmu kuat
menghasilkan aroma memikat
ciptakan kekuatan yang akan guncangkan cakrawala
di sore laknat
lihat kanan dan kiri
setiap saat matamata itu siap memangsa
detik waktu siap mencengkram tubuh
pikirkan sebuah strategi
agar kau memenangkan sayembara ini
wajahwajah kaku saling memercik amarah
adakah dendam yang dihamilkan waktu
atau genta yang telah bertabuh dan saling membisikkan
kebinasaan
ambil cambuk itu
lecutkan waktu
dan pecahkan segera dendam
biar habis segala prasangka
lelaki, apakah kau memerlukan pertolongan
dewadewa akan segera datang
karena sesaji telah dilarung tadi malam
dengarkan suara yang datang dari utara
kau tidak sendiri
kau takkan tersesat
tersebab waktu telah memilihmu sebagai panglima
penjaga kepalakepala singa
hentakkan langkahmu
sekarang
atau kematian memilihmu
sebagai senja temaram
enambelas kaki kuda mengepung
tubuhmu tak lagi berdaya
senyummu hilang dalam tabir melayang
kau kembali mengitung
delapan arah angin begitu murung
dan tubuhmu hanya anyir
selepas bertarung
SudutBumi, Desember 2007
Lelaki Badai
tiupkanlah anginmu
yang akan menumbangkan segala gelisah
hanya ketika datang malam
kau hadir
meringkus tidurku yang lelap
berusaha menemani dari jarak terjauh
tidakkah kau ingat
sebuah ranjang telah basah
oleh keringat amukmu
sebuah gelas telah kau tandaskan isinya
berkalikali menciumi sesuatu yang tak terjamah
masih kurasakan hela nafasmu yang lelah
karena siang selalu saja menjauhkan kita
tentu saja aku cemburu pada angin yang selalu membawamu pergi
aku kalap ketika suaramu tak juga menyapa
hingga di sebuah pagi kau pergi tak kembali
meninggalkan sisa badai yang masih bergemuruh di hati
menyisakan sedikit harapan
rangkaian
perjalanan yang sempat membuatku mabuk
lalu merasakan kecewa
SudutBumi, November 2007
Orangorang Berpayung
selepas bersepakat dengan matahari
kami bergegas ke kota
berjalan menyusuri setapak sepi
tersebab listrik belum menjangkau
kami harus membenahi semua siang hari
merapikan hidup yang serba rumit
karena kami sadar
jelujur yang kami pijak adalak milik semesta
di tempat ini tak ada cahaya
selain matahari sang juru penghangat
walau temaram datang
itu hanya milik malam
yang diterangi bulan
kami selalu gegas
ketika kota yang didatangi hanya menyeringai
begitu asing
tak mengenal wajahwajah kami
sebab kami membutuhkan segala sandang
segala pangan
dan segala perabot
selalu kami bersepakat dengan matahari
agar hujan tak datang
melincirkan setapak jalan
kami pun tetap diam
ketika kematian demi kematian
datang beriringan
memaku setiap petak tanah merah
SudutBumi, Desember 2007
19 November 2007
//kejadian pagi
baru saja aku duduk tenang di kursi
diam menghikmati jejak pembicaraan semalam
tersadar ada sesuatu yang salah
semisal pembicaraan tentang hati
perjalanan kasih ambigu
pesan darimu datang juga
dikirimkan dan terbaca melalui layar ponsel
tentang samar peristiwa
ketika aku memaksamu untuk sebuah pertemuan
ketika rinduku tak dapat lagi kupendam
dan aku hanya ingin bercakap denganmu
sebuah pesan
tumbuh menjadi gundah di hati
tibatiba kau ingin pergi
meninggalkan semua yang masih samar
ingatkah kau,
kita belum sempat menikmati malam bersama
kita belum sempat memandang bulan
dari tempat yang berbeda
kau di kotamu
dan aku di kota lahirku
betapa
waktu semakin memanjang
memperjelas perbedaan
//kejadian sore
aku ingin mencarimu
di sudutsudut mall
barangkali etalase yang kujumpai
menghadirkan bayang dirimu
menyusuri koridor yang berbeda
memaku angkuh pada setiap cakrawala
kau tak ada, yang tersisa hanya kenangan
tak kuduga,
cakrawala anggun di ujung menara
memunculkan dirimu sebagai lelaki hujan
datang hanya di waktuwaktu tertentu
meninggalkan jejak di singgung temu
//kejadian luar biasa
sudahlah, aku tak ingin menyimpan luka
yang ada hanya kecewa
dan diamdiam aku menemukan sosok lain
ia sedang menatap tubuh layuku
di beranda
ketika angin tak lagi merindu
aku tengah mencermati seseorang terduduk
tangannya lincah menggoreskan siluet tubuh
apakah dia dikirimkan langit untukku
matanya masih saja jalang
menembus cakrawala senja
bercampur biru
bercampur merah sumba
SudutBumi, Desember 2007
Akolade
bolehkah aku memanggil namamu
sebuah nama yang akan mengawangkan diri
dalam senyap malam kelam
ketika jeruji pagi mengekalkan waktu pisah
jika memang sementara
sanggupkah aku melupa namamu
katakan semua dalam haru rindu
jalanjalan penuh kenang
petak cahaya yang menyilaukan
maukah kau berbagi sapaan
sekadar mengingatkan
paruh waktu adalah perjalanan pulang
tak ada lagi jembatan penyangga
jam pasir
kedap suara
lamunan hanya melambungkan nama
jangan larang aku untuk menyimpan sebuah nama
dalam ingatan yang makin lamur
selarik harapan masih saja digumamkan
inikah perjumpaan itu
langgam mengosongkan alur cerita
dan kamu adalah tokoh utama dalam kenanganku
jangan palingkan wajahmu
ketika aku mengharap anggukanmu
juga saat senja datang menjemput segala
sesal karena siang membawa namamu
tak kembali
seolah kampung yang patah akibat goncangan
sebab namamu tak hampa lagi dalam ingatan
bolehkah aku memanggil namamu
menjaga rindu untukmu
walau semua takkan kembali
SudutBumi, Maret 2007
Tubuhku dalam Percintaan Platonik
takkan kau temui sisa jelaga dalam tubuhku
hanya periuk bersandar di tubir duha
suci tak tersentuh
mengumbar kidung milik leluhur
agar kau ingat
aku adalah perempuan pertama setelah ibu
semang yang hadir di lesung pipi
jangan berharap
karena tubuh akan selalu merajah alir darah
agar kau tak sempat melupa
setiap sudut waktu
akan menemani menuju muara
lihat lebih dalam
karena setiap hentakkan
membuat lena
tipisnya angin membawa manis tubuh
menoreh roman kecintaan
jika bungkam kupilih
itu pertanda
usai segala bias
dan tubuhku
tetap kukuh menanti tubuh yang lain
SudutBumi, Maret 2007
Semenanjung Muria
kau rasakan pijak mimpimu di tanah ini
serombongan orang datang membawa bencana
menanamkan benihbenih panas udara
lihatlah, karangkarang meradang
ikanikan meracau di tanah leluhur
sepertinya siasat kata tak menjawab gelisah
sembilu menghunjam dasar bumi yang murung
pernahkah kau mendengar kisah jenaka di chernobyl
kisahkisah di tempat lainnya
pernahkah kau pikir betapa lucunya menanam luka
menernak gelisah di benak penderma
tanah adalah sebuah pengharapan
tempat para sunan merecup kedamaian
singgah dan rasakan geletar bumi
di sini ikanikan itu tak ingin bermutasi
Rabu, 11 Februari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar